Pages

Jumat, 22 Februari 2013

FISIOTERAPI PADA GANGGUAN FUNGSI SEKSUAL (DISFUNGSI EREKSI)




Ditulis oleh : Heru Purbo Kuntono, Dipl. PT, M.Kes
Problem sex pasca stroke dipengaruhi oleh beberapa factor :
1.Usia
2.Body image
3.Jenis stroke
4.Psikiatris dan emosi

Secara general dipengaruhi oleh kemampuan fisik dan daya tahan.

Peningkatan kemampuan fisik dan daya tahan dapat diberikan denga cara pemberian model – model fasilitasi diantaranya :
1.Terapi latihan gerak (exercise therapy)
2.Stimulasi elektris, untuk memperbaiki gerak fungsional
3.Psichotherapy
4.Pendekatan medis secara spesifik dalam berbagai aspek
Secara general model fasilitasi dapat diberikan oleh fisioterapis okupasional terapis dan dokter.

What are some general guidelines for couples resuming sex ?
1.Choose a time when you’re rested, relaxed and free from the stress brought on by the day’s activities
2.wait one to three hours after eating a full meal so digestion can take place
3.select a familiar, Peaceful setting that’s free from interruptions
4.If prescribed by your doctor, take medicine prior to sexual relations

RESPON FISIOLOGIS ALAT SEKSUAL PRIA DAN WANITA

Marcus dan Jhonson membagi respon seksual yang normal menjadi 4 (empat) fase:
1.Massa rangsangan (excitement)
2.Massa dataran tinggi (plateu)
3.Massa orgasme (orgasm phase)
4.Massa peregaan (resolution phase)

Keempat rentetan reaksi diatas merupakan suatu siklus seksual yang lengkap. Massa rangsangan terjadi sebagai akibat dari rangsangan tubuh dan atau rangsangan psikis. Massa ini merupakan massa yang paling panjang. Apabila rangsangan ini dilanjutkan dan tegangan meningkat maka masa rangsangan ini beralih kemassa berikutnya, yakni masa dataran tinggi. Plateu phase ini dengan spontan beralih ke massa orgasme yang singkat (beberapa detik, yang pada pria disertai penyemprotan air mani. Massa berikutnya adalah massa peregaan, yakni massa kembali kedalam keadaan semula.
Kaplan (1974), dikutip oleh MacLean A B, membagi fisiologi respon seksual menjadi 2 (dua) tahap yakni : (1) Tahap Vasokongesti (pengumpulan darah) dan (2) Tahap myiotonia (peningkatan tonus otot)
Fase I atau massa perangsangan terjadi reaksi vasokongesti, dimana reflek dilatasi dari pelvis dan pembuluh – pembuluh darah sekitar vagina menyebabkan distensi vagina bagian bawah, ereksi bulbus dan korpus kavernosa klitoris. Transudasi sepanjang dinding vagina mengeluarkan cairan mirip plasma yang berfungsi sebagai lubrikasi. Perubahan vascular ini dikontrol oleh saraf parasimpatis. Pada pria vasodilatasi pembuluh darah ke panis lalu ereksi dan tonus meningkat.
Fase II atau massa orgasme ditandai dengan peningkatan tonus otot dan reflek klonik otot – otot dasar panggul, sfinter ani dan uterus dalam 5 sampai 10 kontraksi ritmis. Respon reflek ini distimulasi melalui klitoris dan kontraksi otot vagina dan otot dasar panggul merupakan efek motorisnya. Pada pria tonus dae rah penis meningkat menjadi lebih tegang dan Cloper’s glands mengeluarkan cairan (fluid).

Male orgasme

For the men, orgasme (which include ejaculation) occurs in two stages : (1) feeling of inevitability dan (2) the ejaculation of semen. The first stage begins with a rising feeling of anxiety that something is soon to be happening inside the pelvic area. The rapid buildup of feeling has an imperative quality to it. The second stage begins with feeling of contraction deep within the pelvic as prostate gland and the seminal vesicles contrac in ejaculation, sepurting the semen out of the uretra. When these feeling of contraction begin, there is no stoping ejaculation, and the men comes in spurts of warm, milky semen.


Respon seksual pada wanita

Daerah genital

Selama massa rangsangan pada wanita, terjadi pembengkakan kelenjar klitoris , vasokongesti dan pembesaran klitoris. Vagina mengalami lubrikasi dalam 10 sampai 30 detik setelah rangsangan dan memanjang serta bewarna biru tua. Uterus sedikit terangkat dan korpus menjadi lebih mudah terangsang. Labia mayora mendatar, terbuka dan terangkat keluar dari liang vagina . Lbia minora membengkak dan menonjol, memudahkan penetrasi oleh penis.
Pada massa dataran tinggi , klitoris mengkerut (retraksi ) di bawah simfisis. Vagina 1/3 distal sedikit melebar, membengkak dan edematous sehingga terbentuk suatu manset orgastik (orgasmic platform), sehingga penis seolah – olah dicengkram lebih erat. Korpus dan serviks uteri terangkat lebih keatas. Labia mayora membengkak, sedang labia minora berubah warna dari merah terang menjadi merah tua menjelang orgasme. Pada tahap ini kelenjar bartholini mengeluarkan satu atau beberapa tetes cairan mucus.
Pada massa orgasme, kontraksi dari manset orgastik pada vagina terjadi sebanyak 6 sampai 12 kali dalam kurun waktu 0,8 detik. Uterus juga berkontraksi sesuai dengan intensitas orgasme.
Selama massa resolusi, klitoris kembali ke posisi semula . 5 sampai 10 detik setelah orgasme, vagina berhenti berkontraksi dan dengan cepat mengendur dan kembali ke warna semula dalam 10 sampai 15 menit. Uterus juga kembali ke posisi semula, tetapi osteum uteri eksternum tetap membuka selama 20 sampai 30 menit. Labia mayora kembali ke besar yang normal dan labia minora berubah warna dari merah terang menjadi merah muda dalam 15 detik dan ukurannya juga mengecil separti semula.

Ekstragenital

Sejumlah reaksi ekstragenital terjadi selama fase – fase respon seksual pada wanita. Selama massa rangsangan, beberapa perubahan terjadi pada payudara. Papilla mamae terangkat dan membesar disertai pembengkakan disekitar aerola mamae. Bercak eritema terjadi pada fase akhir massa rangsangan, dimulai sekitar epigastrium dan meyebar ke payudara.Terjadi peningkatan tonus otot, baik otot lurik maupun otot polos.
Selama massa dataran tinggi, papilla mamae menjadi ereksi, payudara membesar dan areolanya semakin ereksi. Berkas eritema jelas nampak dan tonus otot meningkat ditandai dengan kontraksi spastis. Takikardia meningkat mencapai 175 kali permenit diikuti peningkatan tekanan sistoloik dan diastolic masing – masing sebesar 20 sampai 60 mmHg dan 10 sampai 20 mmHg.
Pada saat orgasme , bercak eritema sesuai dengan intensitas reaksi . Tonus otot maksimal dengan hilangnya fungsi control, ditandai dengan kontraksi involunter dari sfinter ani. Pernafasan meningkat menjadi 40 kali permenit dan takikardia antara 110 sampai 180 kali permenit. Tekanan darah meningkat antara 30 sampai 50 mmHg sistolik dan 20 sampai 40 mmHg diastolic.
Selam massa resolusi , terjadi pengenduran payudara dan areola mamae dengan cepat. Pengecilan volume payudara lebih lambat , kerja eritema menghilang dengan cepat. Miotonia jarang berlanjut lebih dari 5 (lima) menit setelah orgasme. Hiperventilasi dan takikardia kembali menjadi normal dengan cepat.

Female Organisme

Female experience orgasm with a feeling of suspension that is followed by a climax of intense sensation in the clitoris. The sensation then moves through the pelvic – some say a feeling of “ falling “, “ opening up “ , or “labor pains”. A warmth spreading from the pelvic through the rest of the body may follow

Massa klimakterium

Sejak lahir setiap wanita normal akan mengalami beberapa fase yang merupakan proses alam yang wajar. Kehidupan seorang wanita pada fase – fase terdahulu sangat berpengaruh bagi kehidupan pada fase selanjutnya. Klimakterium dimaksudkan sebagai massa yang bermula dari akhir tingkat reproduksi sampai awal tingkat senium. Massa ini adalah suatu periode penyesuaian diri dengan menurunnya produksi hormone – hormone yang dihasilkan ovarium. Massa klimakterium meliputi massa premenapouse, menapouse, pasca menapouse, ooforopause dan prasenium. Periode ini berlangsung beberapa tahun, kadang sampai lebih dari 10 tahun, antara usia 40 sampai 65 tahun.
- Premenopause merupakan massa 4 sampai 5 tahun sebelum menopause, bilamana telah ada keluhan klimakterium dan perdarahan yang tidak teratur
- Menopause berasal dari bahasa Yunani yang berarti berhenti haid. Menopause terjadi dalam massa klimakterium pada usia sekitar 50 tahun . Pada saat menopause inilah terjadi perdarahan uterus terakhir yang masih dikendalikan oleh ovarium.
- Pasca menopause merupakan massa 3 sampai 5 tahun setelah menopause
- Ooforopause adalah saat ovarium kehilangan sama sekali fungsi hormonalnya.

Proses utama yang mengakibatkan menopause adalah habisnya folikel pada ovarium. Meskipun pada tiap – tiap haid hanya 1(satu) folikel yang mengalami ovulasi tetapi nampaknya kerusakan folikel jauh lebih cepat. Tidak terbentuknya folikel dapat secara tiba – tiba atau secara lambat laun. Makin sedikit folikel yang berkembang makin berkurang pembentukan hormone esterogen, yang menyebabkan ovulasi dan siklus haid menjadi tidak teratur. Keutuhan jarinagan vagina dan vulva juga menurun , demikian pula jaringan alat tubuh lain yang berada di bawah pengaruh esterogen.
Selain gangguan dalam bentuk haid sampai terhentinya haid, wanita dalam massa klimakterium sering mengalami gejala – gejala berikut ini :
1.Hot flushes (semburan panas), yang merupakan sensasi seperti gelombang panas yang meliputi bagian atas dada, leher dan muka yang disusul dengan kringat yang banyak, pada malam hari keadaan ini sangat mengganggu wanita tersebut.
2.Gejala psikologi, berupa rasa takut , tegang , depresi, mudah sedih, lekas marah , gampang tersinggung, gugup dan kondisi jiwa yang tidak stabil.
3.Fatique, yaitu rasa lelah yang diakibatkan berhentinya fungsi ovarium.
4.Atropi, yaitu kemunduran keadaan gizi serta lapisan jaringan. Alat kelamin menjadi kisut, vagina bertambah kecil dan kering sehingga sering mengakibatkan dispareunia, gatal – gatal didaerah kemaluan ,keputihan dan rasa sakit saat berkemih. Keadaan ini memudahkan terjadinya infeksi . Secara umum kulitpun mengalami atropi, rambut menjadi kasar dan jarang , begitu pula rambut ketiak dan sekitar kemaluan, sampai akhirnya hilang sama sekali.
5.Insomnia
6.Pusing atau sakit kepala
7.Rasa sakit pada seluruh anggota tubuh
8.Menurunnya libido
9.Berdebar – debar (palpitasi)

GANGGUAN FUNGSI SEKSUAL PADA PRIA

Dari sekian banyak gangguan fungsi seksual pada pria, yang 0paling sering ditemukan adalah gangguan fungsi ereksi. Diperkirakan, 1 dari 2 pria berusia 40 – 70 tahun mengalami penurunan kualitas ereksi.
Suatu ereksi dikatakan normal jika pada saat bercumbu bias mendapatkan ereksi yang keras sampai kaku, lalu bias melakukan penetrasi dan bertahan sampai ejakulasi. Bila bisa mencapai ereksi tapi ketika akan dilakukan penetrasi kemudian penis menjadi lemas atau bila sama sekali tidak dapat mencapai ereksi, maka dipastika mengalami gangguan fungsi ereksi.

Apa yang terjadi saat ereksi?
Di sepanjang penis terdapat dua struktur yang menyerupai busa spons, yaitu korpus kavernosa. Penis juga memiliki pembuluh darah yang terdiri dari atreri dan vena untuk mengalirkan darah ke dan dari penis.
Jika sinyal dari otak telah sampai ke penis, maka akan dilepaskan zat kimia nitrogen oksida (NO). NO menyebabkan meningkatnya kadar cGMP (siklik guanosisn mono fosfat) yang akan membuka pembuluh darah dan melemaskan otot-otot di dalam korpus kavernosa sehingga darah akan lebih banyak masuk. Sementara itu, vena akan tertekan menahan darah di dalam penis. Adanya darah ekstra ini akan meningkatkan tekanan dan menyebabkan penis menjadi keras dan membesar.

Penyebab gangguan fungsi seksual

Faktor fisik
•Diabetes
•Operasi prostat
•Tekanan darah tinggi
•Penyakit jantung
•Kolesterol tinggi
•Gagal ginjal
•Stroke, cedera tulang belakang
•Sklerosis multiple

Faktor Psikis
•Depresi
•Stress
•Kecemasan
•Kurang rasa percaya diri
•Konflik
•Kehilangan orang yang dicintai
•Perubahan status social
•Kelelahan
•Pikiran negatif, diman ahubungan bisa mempengaruhi kemampuan pasangan suami istri untuk berfungsi secara utuh dan benar

Faktor lain
•Merokok
•Alkohol
•Diet yang buruk
•Efek samping obat – obatan (misalnya anti depresi, anti-hipertensi)

STIMULASI ELEKTRIS PADA DISFUNGSI EREKSI

SARAT ARUS LISTRIK SEBAGAI STIMULASI ELEKTRIS:
- Melalui reseptor kulit (transcutaneus) dengan reseptor spesifik
- Arus listrik dengan modifikasi (frekuensi pulsa, durasi pulsa, intensitas pulsa)
- Respon stimulasi elektris terhadap saraf somatis dan simpatis.
- Spesifikasi jaringan atau organ yang dituju untuk mendapatkan efek terapeutik yang diharapkan

Tujuan
1.Fasilitasi kontraksi otot
2.Memperbaiki vasomotor corpus karvernosum
3.Sensory erection habituation
4.Memacu mekanisme ereksi

Pelaksanaan :
1.Frekuensi rendah
2.Frekuensi menengah

APLIKASI ENS PADA DISFUNGSI EREKSI DENGAN ARUS DIADYNAMIS:

1. Lokal (regional)
Posisi pasien : Tidur tengkurap
ENS : DIADYNAMIS gelombang LP, MF+LP
Penempatan elektrode
Saraf somatis : Lumbosacaral
Katode : Lumbosacara
Anode : Regio inguinal
Dosis : I(Intensitas) X t (waktu)
I = mitis
t = 10-20 menit

2. Segmental somatis (Area dermatom)
Posisi pasien : Tidur tengkurap
ENS : DIADYNAMIS gelombang LP,MF+LP
Penempatan elektrose
Katose : Lumbosacral
Anode : Regio Adduktor hip proksimal
Dosis : I (intensitas) X t (waktu)
I = mitis
t = 10-20 menit

3. aplikasi segmental simpatis
Posisi pasien : tidur tengkurap
ENS : DIADYNAMIS gelombang CP, Cpid
Penempatan elektrode
Katode : Th 11 – Th 12
Anode : Lumbosacral
Dosis : I (intensitas) X t (waktu)
I = fortis
T = 10 – 20 menit
catatan:
t1 = 10 menit pertama, t2 = 10 menit kedua dengan pergantian polaritas anode ke katode dan sebaliknya


Pemberian stimulasi elektris pada gangguan seksualitas dapat diberikan dengan arus listrik frekuensi rendah maupun arus listrik frekuensi menengah yang tergabung dalam modalitas sebagai TENS. Stimulasi elektris bukan merupakan suatu terapi tunggal tetapi dapat dimodifikasi dengan terapi elektris yang tergabung dalam modalitas sumber fisis dan modalitas terapi latihan (exercise therapy) yang spesifik. Kompleksitas masalah gangguan fungsi ereksi juga diperlukan kerjasama multi diplioner yang terkait dalam penanganan gangguan seksualitas.

GANGGUAN FUNGSI SEKSUAL PADA WANITA

Gangguan fungsi seksual pada wanita sering terjadi akibat menurunnya fungsi organ reproduksi yang berhubungan dengan wanita usia lanjut (Wulan).

Sex pada wulan

Beberapa wanita meningkat libido dan aktivitas sex nya selama ovulasi dan menurun menjelang menstruasi, hal ini disebabkan pengaruh hormone estrogen, namun tidak benar bahwa wulan dengan kadar estrogen yang rendah tidak dapat mengalami respon seks yang normal, bahkan beberapa mengatakan libido meningkat setelah menopause oleh karena hilangnya kekhawatiran terhadap kehamilan. Namun penelitian Halllstrom (1977) menunjukkanterjadinya penurunan rangsangan seks, frekwensi koitus, dan kapasitas orgasmen setelah menopause. Tampaknya penipisan mukosa vagina, kekeringan, danm mengurangi elastisitas karena penurunan kadar estrogen berperan terhadap penurunan fungsi seksual ini.
Kinsey. Dkk (1953) menyatakan bahwa penurunan aktivitas sex pada wanita sejalan dengan bertyambahnya umur dan pada WULAN, orgasme lebih mudah dicapai dengan masturbasi dibandingkan dengan coitus biasa. 75% dari pasangan berumur 50 tahun masih melakukan seks secara aktif dan lebih Dari 50% pasangan berumur lebih dari 75 tahun tetap melakukan koitus.
Pada WULAN perubahan pada vasokongesti, pembengkakakn pudendus dan lubrikasi vagina menurun dan terhambat, sedangkan masa peredaan (resolusi) lebih cepat terjadi ( kellet, 1988) trauma suwaktu koitus pada dinding vagina dan uretra mengakibatkan dispareunia dan disuria.
Perubahan anatomi dan fisiologi seksualitas pada wulan sering mengakibatkan kelemahan otot – otot dasar panggul. Kelemahan otot dasar panggul juga dapat diakibatkan oleh adanya kondisi patologi tertentu misalnya : cystocele, atau uretrocele dan rectocele serta prolaps uteri.

Otot dasar panggul
Otot lapisan dalam tersebut muscle of the perineum sangat berperan dalam mempertahankan fungsi vagina sewaktu berkontraksi saat aktivitas seksual. Otot ini terdiri dari :
1.Otot ischio cavernous
2.Bulbocavernous
3.Deep perineal muscle (urogenital diaphragm)
4.Sphincter ani eksternal.

Otot lapisan luar disebut levator ari
Otot yang terdiri dari pubococcigeus, iliococcygeus  otot dasar panggul dapat menjadi lemah/ weaknes :
pelvic floor muscle weakness, Oleh karena kelainan anatomi: Cystocele/Uretrocele, Rectocele & prolaps uteri

Tanda-tanda pelvic floor muscle weaknes
1.Inkontinensia psikis
2.Kelainan anatomi (missal: Cystole)
3.Vagina Laxity
4.Prolaps uteri

Aktivitas seksual terganggu:
1.Nyeri
2.Tidak nyaman
3.Keluhan pada bladder dan bowel


PENATALAKSANAAN STIMULASI ELEKTRIS PADA GANGGUAN SEKSUALITAS PADA WANITA

pemasangan elektrode intra vaginal untuk pemeriksaan dan untuk aplikasi stimulasi elektris dengan metode lokal intra vaginal, aplikasi stimulasi elektris regional, aplikasi stimulasi elektris segmental simpatis dipisah

Untuk Memperkuat Otot-Otot Dasar Panggul Dapat Diberikan Latihan Penguatan Setelah Diberikan Stimulasi Elektris Dengan Metode Kegel Exercise

Prinsip dasar kegal exercise (latihan metode kegal)

Prinsip dasar latihan kegal:
Posisi dasar tidur/ berbaring terlentang ( seperti gambar)
Lakukan 5 tahapan:
1.Kontraksikan otot gluteus (pantat), tahan sampai 5 hitungan, kerjakan secara kuat kemudian pelan dan diselingi istirahat sebentar.
2.Ketika mengerjakan (1) kontraksikan otot paha (adductor longus) dan ulur pinggang seolah-olah datar, tahan sampai 7 hitungan.
3.Selama mengerjakan (2) kontraksikan anus seolah-olah menahan buang air besar secara kuat.
4.Pasakan kontraksi otot (1) (2) (3) seolah-olah secara kontinyu vagina ikut berkontraksi dan ureter seakan menahan urine yang mau keluar.
5.Sambil mengerjakan (1) (2) (3) (4) tekan punggung ke bawah hingga otot perut bagian bawah berkontraksi secara static, tahan selama 8 hitungan.
Latihan ini dapat dikerjakan pada posisi duduk, berdiri bahkan pada saat aktivitas, dilakukan selama 3X sehari.

Yang perlu diingat:
1.Latihan dikerjakan dengan durasi minimal 5 menit, dengan frekwensi 3 kali setiap hari.
2.Tahan dengan kontraksi static otot dasar panggul sewaktu melakukan aktivitas berat seperti mengangkat beban atau meloncat.
3.Kerjakan dengan ritmis dan tekun serta tidak membebani psikis.
4.Tanyakan pada fisioterapis atau dokter apabila ada hal-hal yang meragukan selama melakukan latihan ini.

Fisioterapi Down Syndrome


Definisi sindrom down

Sindrom down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Down Syndrome / sindrom down merupakan kelainan kromosom yakni terbentuknya kromosom 21(trisomy 21) akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid.
Pada tahun 1970-an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali syndrome ini dengan istilah Down Syndrome dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.

Tujuan Fisioterapi
Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk menggerakkan tubuhnya dengan cara/gerakan yang tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi. Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome menyesuaikan gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya, sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur. Jadi tujuan fisioterapi adalah untuk mengajarkan pada anak gerakan fisik yang tepat. Untuk itu diperlukan seorang fisioterapis yang ahli dan berpengetahuan dalam masalah yang sering terjadi pada anak Down syndrome seperti low muscle tone, loose joint dan perbedaan yang terjadi pada otot-tulangnya. Intensitas Terapi
Biasanya fisioterapi akan menjadwalkan anak dengan Down Syndrome seminggu sekali untuk terapi, tetapi terlebih dahulu fisioterapi melakukan pemeriksaan dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang dibutuhkan anak dlm seminggu. Disini peran orangtua sangat diperlukan karena merekalah nanti yang paling berperan dalam melakukan latihan dirumah selepas diberikannya terapi. Untuk itu sangat dianjurkan untuk orangtua atau pengasuh mendampingi anak selama sesi terapi agar mereka mengetahui apa-apa yg harus dilakukan dirumah.

DISLOKASI HIP JOINT



Penderita mungkin mengalami syok berat dan tidak dapat berdiri. Tungkainya terletak dalam posisi tinggi yang sesuai dengan paha difleksikan, dan dirotasikan ke interna. Tungkai pada sisi yang cidera lebih pendek daripada sisi yang normal. Lututnya bersandar pada paha yang berlawanan dan trokantor mayor dan pantat menonjol secara abnormal.Dislokasi hip joint ada 3 macam, yaitu dislokasi posterior, dislokasi anterior, dan dislokasi central.
Dislokasi posterior

Dislokasi posterior hip joint biasa disebabkan oleh trauma. Ini terjadi pada axis longitudinal pada femur saat femur dala keadaan fleksi 90o dan sedikit adduksi.
Pemeriksaan pada penderita dislokasi posterior hip joint akan menunjukkan tanda yang abnormal. Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan sedikit fleksi, internal rotasi dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang karena kaput femur terkunci pada bagian posterior asetabulum. Salah satu bagian pemeriksaan adalah memeriksa kemampuan sensorik dan motorik extremitas bawah dari bagian bawah hingga ke panggul yang mengalami dislokasi, karena kurangnya kepekaan saraf pada panggul merupakan suatu komplikasi masalah yang tidak lazim pada kasus dislokasi hip joint.
Terapi untuk mengembalikan keadaan ini ada dua cara.

1. Tempatkan penderita di lantai (telentang). Amati (dislokasi) secara cermat dan suruh seorang asisten mendorongnya ke bawah pada SIAS. Fleksikan lutut penderita dan panggulnya, dan rotasikan tungkainya pada posisi netral. Tarik tungkainya ke atas secara terus-menerus dengan lembut. Saat masih dilakukan traksi (penarikan) sesuai arah femur, rendahkan tungkainya ke lantai. Reduksi biasanya jelas dirasakan tetapi perlu didukung dengan sinar-X.
Jika metode tersebut gagal meruksikan dislokasi, suruh asisten meneruskan penekanan secara kuat pada SIAS. Dengan lutut sebagian difleksikan, tarik tungkai sesuai dengan deformitas. Fleksikan panggul perlahan hingga 90o dan rotasikan secara lembut ke internal dan eksternal untuk melepaskan kaput dari struktur-struktur yang menahannya. Kembalikan kaput pada tempatnya dengan rotasi interna dan eksterna lebih lanjut, atau rotasi eksterna dan ekstensi. Bila masih terpengaruhanestesi, periksa lutut, apakah terdapat ruptur ligamentum cruciatum posterior.

2. Segera setelah penderita dianestesi, tempatkan ia dengan wajah menghadap ke meja, sehingga paha yang cedera terkatung ke bawah dengan lututnya pada 90o dan kakinya bersandar pada lutut anda. Suruh seorang asisten memegang paha yang normal secara horizontal, agar pelvis tidak menjadi miring. Tekan terus menerus ke arah bawah pada lutut yang difleksikan hingga otot-ototnya berelaksas dan kaput femoris dapat masuk ke asetabulum. Jika perlu goyangkan lututnya.
Jika metode ini gagal, rujuk untuk dilakukan reduksi terbuka.
Uji stabilitas, saat penderita masih diberi anestesi, fleksikan panggulnya sampai 90o dan lakukan pemeriksaan apakah kaput femoris mudah keluar dari asetabulum dari arah posterior ataukah tetap pada tempatnya. Jika dapat tergelincir dengan mudah, diduga ada fraktur pada tepi posterior asetabulum.

Setelah dilakukan reduksi diperlukan perawatan lebih lanjut, dengan:
1. Jika reduksi stabil, pelaksanaan bergantung pada pergerakannya, apakah menimbulkan sakit atau tidak. Jika tidak menimbulkan rasa sakit, maka tidak diperlukan traksi, karena itu lakukan pergerakan aktif di tempat tdur dan setelah 10 hari penderita diberi tongkat ketiak dengan menahan beban berat parsial. Jika pergerakan menimbulkan nyeri, lakukan traksi ekstensi hingga nyeri hilang, lalu berdirikan dengan tongkat ketiak, dilanjutkan dengan menahan beban berat parsial sampai penuh.

2. Jika reduksi tidak stabil, sehingga kaput femur keluar dari asetabulum, maka lakukan pemeriksaan sinar-X. Jika hasilnya menunjukkan satu potongan tulang besar patah dari pinggir asetabulum, maka rujuk untuk perbaikan. Sebaliknya, lakukan traksi ekstensi dengan pen tibia. Jika reduksi dapat dikontrol, lanjutkan untuk menggunakan sekurang-kurangnya 6 minggu.


 Dislokasi anterior
Pada cedera ini pederita biasanya terjatuh dari suatu tempat tinggi dan menggeserkan kaput femur di depan asetabulum.
Pemeriksaan dislokasi anterior, kaki dibaringkan eksorotasi dan seringkali agak fleksi. Dalam posisi adduksi tapi tidak dalam posisi menyilang. Penderita tidak dapat bergerak fleksi secara aktif ketika dalam keadaan dislokasi. Kaput femur jelas berada di depan triangle femur.
Terapi dilakukan dengan membaringkan penderita di lantai, dan lakukan anestasi seperti pada penanganan dislokasi posterior. Dengan melakukan pengamatan secara cermat, suruh seorang asisten menarik pelvisnya dengan kuat sepanjang manuver pada SIAS. Pegang tungkai penderita da bengkokkan panggul dan lutut sampai 90o. Rotasikan tungkainya ke posisi netral. Hal ini akan mengubah dislokasi anterior menjadi posterior. Tarik tungkai penderita terus menerus ke atas agar dapat mengangkat kaput femur ke dalam asetabulum.
Jika panggul tidak dapat direduksi, turukan tungkainya ke lantai ketika sedang mempertahankan reduksi. Jika panggul masih tidak dapat direduksi, maka gunakan traksi sesuai dengan arah deformitas (fleksi dan adduksi). Saat mempertahankan traksi, angkat tungkainya pada posisi vertikal agar dapat membawa kaput femur pada tepi anterior asetabulum. Sekarang, dengan masih mempertahankan traksi, rotasikan tungkai ke internal dan turunkan pahanya menjadi posisi yang diekstensikan.
Jika panggul masih tidak dapat direduksikan, suruh seorang asisten terus memegang pelvis dengan kuat. Suruh asisten kedua berdiri di depannya dan menarik dengan kuat sesuai dengan arah femur. Abduksikan panggul yang normal dan letakkan tumit anda tanpa sepatu pada tempat kaput femur yang anda pikirkan. Kemudian tekan ke arah posterolateral hingga kaput masuk ke dalam socket dengan bunyi debam. Jika gagal, rujuk untuk dilakukan reduksi terbuka.
Setelah dilakukan reduksi diperlukan perawatan lebih lanjut, pertahankan penderita di tempat tidur hingga ia dapat mengontrol panggulnya kembali. Kemudian biarka ia berdiri dan menahan beban berat. Amati kaput femur terhadap nekrosis aseptik, sama seperti dislokasi posterior. Jika ia beruntung untuk menghindari keadaan ini, maka ia akan pulih kembali dengan hasil yang baik.


 Dislokasi central / obturator
Dislokasi obturator ini sangat tidak umum dijumpai. Dislokasi obturator disebabkan karena gerakan abduksi yang berlebih (hiper-abduksi) dari panggul yang normal yang disebabkan karena trokantor mayor bergerak berlawanan dengan pelvis untuk mengungkit kaput femur keluar dari asetabulum.
Pemeriksaan, panggul akan sangat terlihat dalam posisi abduksi dan tidak dapat dibawa ke posisi normal tanpa penyesuaian dari pelvis. Kelainan saraf sangat jarang terlihat pada kasus seperti ini.
Terapi pada dislokasi obturator, yang terjadi akibat sobeknya capsul inferior, adalah sangat memungkinkan untuk mengubah dislokasi ini menjadi dislokasi anterior maupun posterior, dan kemudian dapat direduksi dengan cara yang tepat. Bagaimanapun juga traksi abduksi pada tungkai dengan traksi yang berlawanan dengan pelvis sangat diperlukan. Berikan tekanan kuat, lalu letakkan pada sisi medial kaput femur dengan melakukan sedikit gerakan internal dan eksternal rotasi. Adduksikan ke posisi normal lalu selesaikan reduksi ini. Ini membuktikan sebuah cara yang efektif untuk dislokasi ini. Selama kaput femur yang mengalami dislokasi tidak bergerak ke arah yang dapat mengganggu suplay darah, penderita dapat mulai berjalan dengan tongkat ketiak tanpa beban pada tungkainya setelah beristirahat di tempat tidur selama beberapa hari. Penderita harus berjalan dengan tongkat ketiak selama 6 minggu dan melakukan pemeriksaan dengan sinar-X dengan interval 2 sampai 3 bulan untuk tahun pertama dan 6 bulan untuk tahun kedua. Kemungkinan terjadi avascular nekrosis sangat kecil karena arah dislokasi ini.

Efek Latihan Terhadap Beban Pada Lumbal Spine


Hampir seluruh gerakan pada tubuh dapat meningkatkan beban pada lumbal spine, dari beban yang sedang selama berjalan dengan lambat atau gerakan twisting yang mudah sampai beban yang tinggi selama latihan/exercise (Nachemson and Elfstrom, 1970). Beberapa latihan yang sangat mempengaruhi beban pada lumbal spine adalah latihan strengthening untuk otot-otot erector spine dan abdominal. Latihan-latihan tersebut harus dilakukan secara efektif dengan cara menyesuaikan beban yang dihasilkan oleh spine dengan kondisi punggung/back setiap orang.
Untuk melatih otot-otot erector spine dalam posisi prone lying, sebaiknya dihindari posisi seperti pada gbr. 6.7a bagi pasien-pasien LBP walaupun dapat menghasilkan kontraksi otot yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena posisi tersebut dapat menghasilkan stress yang lebih besar pada struktur spine (terutama diskus lumbalis). Oleh karena itu, posisi yang lebih baik adalah posisi awal latihan yang mempertahankan vertebra lebih paralel.
Sedangkan latihan untuk otot abdominal, ada beberapa posisi awal latihan yang tidak menghasilkan beban tinggi pada lumbal spine seperti bilateral/unilateral SLR, trunk curl method atau reverse curl dengan modifikasi tahanan isometrik. Bilateral/unilateral SLR lebih banyak mengaktifkan otot psoas daripada otot abdominal sehingga aktivitas otot tersebut cenderung untuk menarik lumbal spine kearah lordosis. Sedangkan metode latihan sit-up dengan posisi hip dan knee bengkok (fleksi) sangat besar mengaktifkan otot abdominal daripada otot psoas, tetapi juga menghasilkan beban yang tinggi pada lumbal spine terutama pada diskus intervertebralis (Nachemson and Elfstrom, 1970). Beban tersebut dapat dikurangi dengan cara hanya melakukan trunk curl .Metode reverse curl dapat mengaktifkan otot abdominal dan obliqus external et internal, dan jika dimodifikasi dengan memberikan tahanan isometrik pada knee akan menjadi lebih efektif untuk strengthening otot abdominal karena tekanan pada diskus juga rendah .

Abstrak Fisioterapi Vol. 6 No. 1, April 2006


Manfaat Penambahan Knee Support Pada Pelaksanaan Terapi MWD, US, Latihan Isometrik Terhadap Pengurangan Nyeri Akibat Cidera Ligamen Collateral Medial Lutut Stadium Lanjut
 
S.Indra Lesmana, Andrianto
 
Abstrak. Cidera ligamen collateral medial sendi lutut merupakan salah satu cidera pada sendi lutut yang mengenai tali pengikat sendi bagian medial yang diakibatkan oleh trauma langsung pada bagian medial
sendi lutut. Penelitian dilakukan di RSUD. Kota Bekasi dari bulan Agustus 2004–Februari 2005 yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh MWD, US, Latihan Isometrik dan Pemakaian Knee Support dengan MWD, US, dan Latihan Isometrik terhadap penurunan nyeri akibat Cidera Ligamen Collateral Medial Sendi Lutut Stadium Lanjut. Analisa data dengan uji Wilcoxon untuk mengetahui kemaknaan perlakuan. Sedangkan untuk mengetahui ada perbedaan kemaknaan antara perlakuan yang diberikan pada kelompok perlakuan 1 dengan kelompok perlakuan 2 digunakan uji Mann Whitney. Penelitian menyimpulkan bahwa pemberian terapi MWD, US, Latihan Isometrik, dan Pemakaian Knee Support berpengaruh dalam mengurangi nyeri akibat cidera Ligamen Collateral Medial Lutut Stadium Lanjut dengan nilai P Value=0,005 (P<α, α=0,05). Pada pemberian terapi MWD, US, dan Latihan Isometrik juga berpengaruh dalam mengurangi nyeri akibat cidera Ligamen Collateral Medial Lutut Stadium Lanjut dengan nilai P Value=0,005 (P<α, α=0,05). Dari uji Mann Whitney didapat nilai P value=0,000 (P<α, α=0,05), yang berarti ada perbedaan yang sangat bermakna terhadap pengurangan nyeri antara kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2. Kata Kunci: Knee Support, Latihan Isometrik, Cidera Ligamen Collateral Medial
 
 
Pengaruh Penggunaan Splint Terhadap Penurunan Spastisitas Penderita Stroke
 
Totok Budi Santoso, J. Hardjono
 
Abstrak. Penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan ingin mengetahui bagaimanakah pengaruh splint dan berapakah waktu yang diperlukan untuk dapat menurunkan tonus otot yang tinggi pada penderita stroke. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu atau quasi experiment. Desain penelitian dilakukan menurut rancangan pretest-postest with control Group . Dalam rancangan dilakukan pemilihan untuk menentukan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, kemudian dilakukan pretest (01) pada ketiga
kelompok, diikuti intervensi (X1) pada kelompok eksperimen. Agar efek pemberian splint terlihat antara berbagai lama waktu pemakaian, maka kelompok eksperimen terdiri atas tiga kelompok (A , B, dan C). Kelompok eksperimen A diberikan perlakuan berupa pemakaian splint selama 1 jam, kelompok B diberikan
pemakaian splint selama 2 jam, sedengan kelompok C diberikan perlakuan pemakain splint selama 3 jam. Populasi dalam penelitian adalah semua penderita stroke yang melakukan kunjungan ke poliklinik fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah Surakarta periode Januari sampai dengan April 2005. Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah sampel ditetapkan 60 dengan masing-masing kelompok perlakuan sebanyak 20 orang. Pengumpulan data dengan menggunakan skala asworth yang telah
dimodifikasi baik sebelum maupun setelah pemakain splint. Analisa data meliputi analisis deskriptif kemudian diikuti analisa uji beda baik dalam setiap kelompok perlakuan maupun antar kelompok perlakuan. Untuk melakukan analisa ini peneliti menggunakan alat bantu software SPSS versi 10.00 for windows. Metode analisa yang dipakai adalah analisa statistik non parametrik Wilcoxon untuk uji beda dalam kelompok dan Kruskal-Wallis untuk uji beda antar kelompok. Pada akhir penelitian ternyata pada pemakaian alat bantu splint selama 1 jam, 2 jam dan 3 jam semuanya dapat menurunkan spastisitas otot penderita stroke dengan hasil statistik yang bermakna. Waktu yang paling efektif dalam pemakaian splint untuk menurunkan spastisitas otot penderita stroke adalah selama 2 jam. Terdapat perbedaan yang bermakna antara pemakaian alat bantu splint selama 1 jam, 2 jam dengan 3 jam terhadap penurunan spastisitas penderita stroke. Kata Kunci : Splint, Spastisitas, Stroke
 
 
Beda Pengaruh Penambahan Long Axis Oscillated Traction Pada Intervensi MWD Dan TENS Terhadap Pengurangan Rasa Nyeri Pada Capsullar Pattern Akibat Osteoatritis Lutut
 
M.Irfan, Rizka Gahara
 
Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan pengaruh penambahan Long axis oscillated traction pada intervensi MWD dan TENS terhadap penurunan nyeri pada kondisi capsullar pattern akibat osteoatritis lutut. Penelitian ini dilaksanakan di unit Fisioterapi RSAL MINTOHARDJO Bendungan Hilir, Jakarta. Dimulai pada tanggal 11 Juli sampai 20 Agustus 2005. Penelitian bersifat Quasi eksperimental dan mengunakan teknik perposive sampling. Osteoatritis adalah suatu patologi yang mengenai kartilago hialin
dari sendi lutut, kondisi ini berpengaruh pada pengerasan jaringan subchondral, rawan sendi mengeras, pemendekan capsul-ligament, spasme otot dan terjepitnya saraf poli modal yang berada di sekitar sendi oleh osteofite maka keluhan yang dapat timbul yaitu berupa nyeri. Pemberian intervensi MWD, TENS dan long axis oscillated traction memberikan pengaruh yang sangat bermakna pada penurunan nyeri akibat osteoatritis lutut. Hal ini disebabkan karena efek terapetik dari MWD dan TENS melalui level sensoris dan level spinal serta efek traksi pada jaringan sekitar sendi. Hasil uji Mann-Whitnay selisih nilai VAS akhir pada
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan nilai P = 0,001, terdapat perbedaan pengaruh yang
sangat signifikan pada kedua kelompok. Peneliti menyimpulkan bahwa penambahan long axis oscillated traction pada intervensi MWD, TENS berpengaruh terhadap penurunan nyeri pada capsullar pattern akibat osteoatritis lutut. Dengan demikian pemilihan salah satu metoda dapat digunakan sebagai solusi dan juga kombinasi kedua intervensi tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Kata Kunci: Long Axis Oscillated Traction, Capsular Pattern, Osteoarthritis 
 
 
Perbedaan Pengaruh Pemberian Intervensi Micro Wave Diathermy (MWD) Dan Ultrasound Underwater Dengan Intervensi Micro Wave Diathermy (MWD) Dan Ultrasound Gel Terhadap Penurunan Nyeri Pada Kasus Plantar Fascitis 
 
Heri Periatna, Liza Gerhaniawati 
 
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian intervensi Micro Wave
Diathermy (MWD) dan Ultrasound Underwater dengan intervensi Micro Wave Diathermy (MWD) dan Ultrasound gel terhadap penurunan nyeri pada kasus plantar fascitis. Plantar fascitis terjadi karena penguluran yang berlebihan pada plantar fascianya yang dapat mengakibatkan suatu inflamasi pada fascia plantaris yang khususnya mengenai bagian medial calcaneus sehingga dapat menimbulkan nyeri. Metode penelitian bersifat Quasi eksperimental untuk mengetahui efek suatu perlakuan pada objek penelitian. Serta untuk mempelajari manfaat pemberian intervensi MWD dan ultrasound underwater terhadap penurunan nyeri pada kasus plantar fascitis dengan metoda pretest post test design. Penelitian menyimpulkan bahwa pemberian MWD dan ultrasound underwater dan MWD dan ultrasound gel berpengaruh terhadap penurunan nyeri pada plantar fascitis, namun berbeda dalam kecepatan penurunannya. Kata Kunci: Ultrasound, Micro Wave Diathermy, Plantar Fascitis
 
 
Perbedaan Pengaruh Pemberian Short Wave Diathermy (SWD) Dan Contract Relax And Stretching Dengan Short Wave Diathermy Dan Transverse Friction Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Sindroma Nyeri Miofasial Otot Levator Skapula
 
Sugijanto, Bunadi
 
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh terapi Short wave Diathermy dan
Contract Relax and Stretching dengan Short Wave Diathermy dan Transverse Friction terhadap pengurangan nyeri akibat sindroma nyeri miofasial otot levator skapula, dimana sampel penelitian ini
diperoleh dari poliklinik fisioterapi Badan RSUD Arjawinangun dengan jumlah sampel penelitian 20 orang laki-laki dan perempuan dengan umur 30-40 tahun yang penelitiannya dilaksanakan pada 23 Juli sampai 3 September 2004. Sindroma nyeri miofasial otot levator skapula adalah suatu gangguan lokal pada otot levator Skapula dimana didapatkan adanya miofasial trigger point atau taut band yang membentuk seperti jalinan tali dan dirasakan nyeri menjalar (referred pain) saat diprovokasi dan menimbulkan reflek ketegangan pada otot yang besangkutan. Dengan penerapan intervensi Short Wave Diathermy dan Contract Relax and Stretching sebagai perlakuan I, dan penerapan Short Wave Diathermy dan Transverse Friction sebagai perlakuan II, dapat mengurangi nyeri akibat sindroma nyeri miofasial otot levator skapula. Dalam penelitian yang dilakukan pada uji kolmogorov–Smirnov sebelum intervensi hasilnya adalah p=0,759 yang berarti tidak ada perbedaan tingkat nyeri sebelum intervensi pada kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II. Dari kedua perlakuan intervensi ini ternyata sesuai dengan hasil pengujian analisis penelitian setelah dilakukan empat kali intervensi dan berdasarkan hasil uji Mann-Whitney, diperoleh nilai p=0,002 yang berarti bahwa ada perbedaan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pengurangan nyeri akibat sindroma nyeri miofasial otot levator skapula antara kelompok perlakuan I dengan penerapan terapi Short Wave Diathermy dan Contact Relax and Stretching dengan kelompok perlakuan II dengan terapi Short Wave Diathermy dan Transverse Friction. Dimana kesimpulannya adalah terapi Short Wave Diathermy dan Contract Relax and Stretcing sangat bermakna pengaruhnya terhadap pengurangan nyeri akibat sindroma nyeri miofasial otot levator skapula dari pada terapi Short Wave Diathermy dan Transverse Friction.
Kata Kunci: Contract Relax and Stretching, Transverse Friction, Sindroma Miofasial Otot Levator Skapula. 

About

Postingan Populer

Pages